Jumat, 27 Juni 2014

KOMET, KOTAK MUSIK ANTIK DI ISTANA SIAK




Komet. (foto:zacky)
Bagian dalam Komet. (foto:zacky)
Istana Asseraiyah Al Hasyimiah yang dikenal dengan Istana Siak di Kota Siak Sri Indrapura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, menyimpan banyak benda bernilai sejarah tinggi. Salah satunya adalah kotak musik antik sejenis gramofon. Kotak musik ini bernama Komet.   

Komet dibuat di Jerman. Berisi musik-musik instrumen klasik Jerman abad ke VIII karya komponis terkenal, seperti Bethoveen, Mozart, dan Strauss. Komet ini dibawa Sultan Siak XI tahun 1896 sewaktu melawat ke Eropa.

Engkol pegas Komet sedang diputar . (foto:zacky)
Zainuddin, Koordinator Pengelola Istana Siak, mengatakan Komet hanya ada dua di dunia. Satunya di Indonesia tepatnya di Istana Siak, dan satunya lagi di Jerman, tempat asal Komet dibuat. Konon, Komet yang ada di Jerman sudah tidak dapat digunakan lagi.

Komet tersimpan di lemari kayu setinggi tiga meter dan lebar sekitar satu meter. Pada bagian pemutar ditutup dengan pintu kaca berukir klasik bertuliskan Komet Goldenberg & Zeitlin. Koleksi piringan baja berisi aransemen musik klasik tersimpan di laci bawah dan terawat dengan baik. Komet di Istana Siak menyimpan 17 keping piringan baja. Setiap piringan berdiameter 90 cm. Piringan baja tersebut dibuat berlubang-lubang sesuai aransemen musiknya.

Koleksi piringan Komet. (foto:zacky)
Radio DMWS berkesempatan melihat Komet dioperasikan. Kotak musik ini tidak memakai listrik. Untuk menjalankannya, engkol pegas pada sebelah kiri bagian dalam Komet diputar dengan tangan. Setelah itu piringan baja terputar dan jarum-jarum meniti lubang-lubang pada piringan untuk menghasilkan bunyi. Suaranya jernih. Sekilas mirip suara piano. Untuk satu putaran piringan, membutuhkan waktu antara 10-15 menit.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak, Said Muzani, kepada Radio DMWS, menuturkan dulunya Komet ini digunakan untuk menghibur Sultan dan para tamu kerajaan saat istirahat setelah pertemuan. Makanya tempat Komet berada di ruang pertemuan Istana Siak. Karena usia Komet yang sudah tua, maka saat ini hanya dioperasikan saat ada tamu khusus saja.

Penasaran dengan kotak musik antik yang hanya ada dua di dunia ini? Berkunjunglah ke Istana Siak, di Kota Siak Sri Indrapura. (zacky wahyudi fagih)

SIAK, KOTA WISATA SEJARAH DAN BUDAYA MELAYU


Kota Siak Sri Indrapura, begitu tenang. Jalanan di ibukota Kabupaten Siak, Provinsi Riau ini, terasa lengang. Namun dibalik ketenangannya, tersimpan jejak peninggalan bersejarah. Untuk mencapai Siak, hanya membutuhkan dua jam perjalanan dengan mobil dari Kota Pekanbaru. Dulunya, Siak Sri Indrapura adalah pusat pemerintahan Kerajaan Siak. Sebuah kerajaan Melayu Islam terbesar di Daratan Riau. Di kota inilah, kita bisa melihat situs peninggalan sejarah dan merasakan peradaban budaya Melayu. 

Istana Kerajaan Siak. (foto: Zacky)

Istana Kerajaan Siak, adalah salah satu peninggalan yang masih terjaga. Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak, Said Muzani, kepada Radio DMWS menceritakan, Istana Kerajaan Siak dibangun pada tahun 1889, saat kepemimpinan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin atau Sultan Siak XI. Beliau adalah ayah dari Sultan Syarif Kasim II, yang namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Pekanbaru. Oleh arsitek asal Jerman, Istana Siak dibangun dengan arsitektur  Eropa, Arab, dan Melayu. Perpaduan ini menjadikan Istana Siak terlihat megah, kokoh dan anggun.

Istana Siak bernama Istana Asseraiyah Al Hasyimiah dan disebut juga Istana Matahari Timur. Terletak di pusat Kota Siak Sri Indrapura. Istana dibangun menghadap ke Sungai Siak. Walaupun usia istana ini sudah seratus tahun lebih, bangunan dengan dua lantai ini masih kokoh dan terawat dengan baik. Kemegahan dan kejayaan Kerajaan Siak, terlihat saat berada di dalam istana. Lantai istana menggunakan marmer. Pada beberapa bagian dinding dan tiang istana dihiasi keramik bermotif seperti batik. Semuanya dipesan dari Perancis.

Ruang pertemuan Sultan. (foto:Zacky)
Pada ruangan depan dibuatkan diorama atau dekor teater. Diorama ini menggambarkan Sultan sedang bermusyawarah dengan empat orang datuk perwakilan dari empat suku. Ruangan di bagian kanan istana adalah ruang pertemuan sultan. Tampak meja panjang dengan deretan kursi kayu beralaskan beludru merah. Di bagian kepala meja ada kursi singgasana Sultan yang bersepuh emas. Jamuan makan juga dilaksanakan pada ruangan ini.

Tak jauh dari tempat ini tersimpan Komet. Kotak musik sejenis gramofon buatan Jerman abad ke delapan, yang berisi instrumen musik klasik karya komponis terkenal seperti Bethoveen, Mozart, dan Strauss. Komet ada dua di dunia. Satu di Jerman dan satunya lagi di Indonesia, tepatnya di Istana Siak.

Ruangan tengah istana terdapat ruang makan kerajaan. Meja utama dari kaca dikelilingi kursi dari kristal dengan dudukan dan sandaran berwarna merah muda. Lampu Kristal menambah cantik ruangan ini. Sebuah cermin unik bernama Cermin Ratu Agung milik permaisuri Sultan terpajang disini ini.

Berbagai koleksi warisan kerajaan bernilai sejarah tinggi tersimpan dengan rapi di Istana Siak. Semuanya masih terawat dengan baik. Tak heran, karena kekayaan nilai sejarah ini membuat Istana Siak selalu ramai dikunjungi.


Tak jauh dari Istana Siak, berdiri Masjid Syahabuddin. Ini adalah masjid tertua di Siak. Dibangun pada tahun 1896 oleh Sultan Siak XI. Masjid Syahabuddin berada di tepi Sungai Siak. Karena dibangun oleh Sultan, maka masjid ini juga dinamakan Masjid Sultan.

Masjid Syahabuddin. (foto: Zacky)
Masjid dengan arsitektur Timur Tengah dan Melayu nan indah ini, masih terus digunakan dan sangat terawat. Masjid telah beberapa kali mengalami perbaikan, tetapi tidak mengubah bentuk aslinya. Menurut Said Muzani, masjid bersejarah ini banyak dikunjungi bukan sekedar untuk beribadah. Masjid Syahabuddin telah menjadi cagar budaya sebagai tujuan wisata. 

Tepat disamping Masjid Syahabuddin, terdapat komplek pemakaman. Disinilah Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII) dimakamkan, beserta permaisuri pertama dan istri keempatnya.  

Bangunan peninggalan bersejarah lain berada tak jauh dari Masjid Syahabuddin, yaitu Balai Kerapatan Tinggi. Gedung dengan arsitektur khas Melayu dan unik ini didirikan oleh Sultan Siak XI pada tahun 1886. Seperti juga Masjid Sultan, bangunan berlantai dua ini menghadap ke arah sungai dan berada di pinggir Sungai Siak. Di lantai satu adalah kantor Sultan, dan lantai dua digunakan sebagai tempat pertemuan Sultan dan untuk sidang pengadilan suatu perkara.

Balai Kerapatan Tinggi. (foto: Zacky)
Bangunan Balai Kerapatan Tinggi terbilang unik. Memiliki tangga yang berbeda pada sisi kiri dan kanan gedung ini. Tangga di sisi kiri terbuat dari besi berbentuk spiral, sedangkan tangga di bagian kanan terbuat dari kayu.

Muzani menjelaskan, tangga-tangga tersebut berfungsi saat adanya sidang suatu perkara. Masyarakat dapat mengetahui hasil sidang dari tangga tersebut. Jika orang yang disidangkan turun ke lantai dasar melalui tangga besi, maka orang tersebut menang dalam perkara. Namun jika turun melalui tangga kayu, maka orang tersebut telah diputuskan kalah dalam perkara, dan langsung menuju ke penjara yang berada dekat tangga kayu tersebut. Saat ini Balai Kerapatan Tinggi dijadikan museum sejarah dan budaya Kabupaten Siak.

Istana Siak, Balai Kerapatan Tinggi, Masjid Syahabuddin dan pemakaman Sultan, semuanya diberada di tepi Sungai Siak yang membelah Kabupaten Siak. Sungai dengan kedalaman + 60 meter dan termasuk sungai terdalam di Indonesia ini, bermuara di kawasan timur Pulau Sumatera. Sungai Siak adalah salah satu jalur transportasi Sultan Siak jika menuju ke Selat Malaka dan ke Kota Pekanbaru. Kapal Api Kato yang dipakai Sultan, masih bisa ditemui di halaman samping Istana Siak.

Said Muzani mengatakan, Pemerintah Kabupaten Siak terus menjaga dan melestarikan kebudayaan Melayu. Salah satunya adalah menggelar Festival Siak Bermadah, setiap bulan Oktober, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Siak.

Festival Siak Bermadah boleh dibilang adalah Festival Budaya Melayu. Berbagai kegiatan seni Melayu dilombakan pada acara ini.  Diantaranya lomba tari tradisional Melayu, tari kreasi Melayu,  lagu Melayu, berceloteh (bercerita lucu) Melayu, dan lomba adat perkawinan Melayu. Lomba ini diikuti seluruh kecamatan di Kabupaten Siak.

Pada festival ini, juga dipertunjukkan seni melayu serumpun. Perwakilan suku Melayu dari Malaysia, yaitu dari Pahang, Johor, Malaka, serta dari Brunei, dan Singapura, selalu mengikuti festival setiap tahunnya. Selain itu perwakilan suku Melayu dari Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat turut hadir memeriahkan Festival Siak Bermadah.

Berkunjunglah ke Siak, untuk melihat sejarah, kultur, seni dan budaya Melayu. Sejarah dan budaya Melayu sangat terjaga di Siak. Untuk menegaskan sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Melayu, Pemerintah Kabupaten Siak menggaungkan slogan, Siak The Truly Malay. (zacky wahyudi fagih)

Minggu, 08 Juni 2014

Pameran Sketsa + “Pe(s)ta Demokrasi” Yusuf Susilo Hartono MEMBACA PETA DEMOKRASI DI TENGAH PESTA


Sketsa karya YSH yang dipamerkan.

Di tengah hiruk pikuk kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Yusuf Susilo Hartono (YSH), perupa berbasis wartawan, akan menggelar pameran Sketsa + (baca: plus), pada 11-17 Juni 2014 di Galeri Nasional Indonesia, dengan mengusung tajuk PE(S)TA DEMOKRASI.

Menurut YSH, tajuk ini bermakna ganda, bisa dibaca Pesta dan Peta, yang masing-masing memiliki kandungan makna berbeda. Berangkat dari situlah, ia akan membaca peta demokrasi di tengah pesta demokrasi Tanah Air.

Dalam pembacaannya itu, YSH menggunakan sketsa hitam putihnya yang khas itu, juga gambar,  lukisan, dan instalasi, yang dibuat dalam rentang waktu 1998 - 2014. Karya-karyanya yang digarap dengan medium tinta China di atas kertas, akrilik di atas kanvas, dan medium camputan tersebut akan dipajang di tiga ruangan Gedung B, Galeri Nasional Indonesia.

Pada ruangan pertama akan dipajang sketsa-sketsanya yang dibuat semasa reformasi, terutama yang mengabadikan demonstrasi mahasiswa di kompleks DPR-RI, disusul kebangkitan Tionghoa, masa kampaye Pileg,  Megawati “terbang” bersama Capres Jokowi, berhadapan dengan Capres Prabowo naik kuda sambil menyengkelit keris, dan Anas Urbaningrum dimarahi Sengkuni, serta Titiek Soeharto dengan baju kuning berhasil masuk Senayan (kebangkitan dinasti Soeharto-kah?).

Ruangan kedua menampilkan karya-karya yang menggambarkan upaya caleg menyembah batu, sampai pohon, untuk mencari kemenangan. Golput yang meningkat jumlahnya ditengah politik transaksional, dan “suara rakyat, suara caleg, adalah suara uang.” Maka pantas banyak caleg yang stress, karena tidak gol, sementara hutangnya menumpuk. Bagi yang berhasil, diharapkan tidak mengikuti jejak pendahulunya yang korup, sehingga masuk penjara. Ada yang insyaf, ada yang tidak.

Sketsa karya YSH yang dipamerkan.
Ruangan ketiga, gelap. Pada empat sisi dinding hitam bergambar gedung DPR, KPK, Istana hingga MK, terdapat sebuah sosok tertegun di bawah tali-tali yang biasa untuk menghukum gantung. Dan dari salah satu sudut ruangan, nampak lukisan seorang hakim (masih menggunakan pakaian kebesaran) yang diborgol tangan dan kakinya. Dibelakang kepalanya ada tali gantungan yang siap menanti.

Dari Siaran Pers YSH yang diterima Radio DMWS, Suwarno Wisetrotomo, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dalam tulisan kuratorialnya,  bertanya, ”Apakah situasi gelap pekat tragis itu akhir dan buah dari pesta demokrasi?” Ia menjawab sendiri, “Jika jawabannya ya, tentu saja itu sebagian dari realitas yang terjadi di negeri ini, dan ‘sekadar’ perspektif buram dari seorang YSH. Mungkin, karena saking masifnya praktek curang, culas, dan rakus yang melanda siapapun dan di posisi apapaun (bahkan para petingginya), maka YSH sampai kehilangan rasa humor dalam melihat dan memahami realitas politik negeri ini.”

Reportase Visual

Menurut pengamatan Suwarno, salah satu Kurator Galeri Nasional Indonesia, YSH rupanya bukan jurnalis biasa. Tak cukup hanya merekam dan melaporkan peristiwa melalui tulisan, tetapi juga merekam dan melaporkannya melalui sketsa dan gambar-gambar, serta lukisan.. Karena YSH bukan jurnalis biasa, maka kisi-kisi reportase semacam itu, bisa ia atasi dengan baik, atau setidaknya berkelit. Caranya, ia luapkan melalui ‘bahasa gambar’. Setidaknya, YSH bisa ‘mengatakan’ dan ‘mengungkapkan’ apa saja, bahkan termasuk opini-opininya, melalui karya-karya seni rupa. Atau bahkan, melalui sejumlah gambar atau lukisan,  sepenuhnya ia bisa beropini, bisa sepenuhnya melakukan kritik keras, atau sebaliknya puja-puji. Karena pada dasarnya, sebuah gambar terkandung kata dan makna berganda-ganda, dibandingkan dengan sebuah tulisan beberapa halaman.

Akan tetapi di situlah pada akhirnya letak persoalannya. Keduanya membutuhkan ketrampilan yang prima. Menulis harus trampil menyusun kata dan kalimat, untuk menunjukkan jalan pikiran yang tertata/terstruktur, serta menghadirkan fakta dan data yang terpercaya. Menggambar harus terampil menguasai elemen-elemen dasar, kemudian menaklukkannya sebagai ‘bahasa’, agar pikiran, pendapat, kegelisahan, kekecewaan, cinta, opini, dan sejenisnya dapat dihadirkan melalui pilihan garis dan bentuk yang tepat.

Ketika YSH membuat laporan untuk media, wajib menghadirkan fakta dan data yang valid, sedapat mungkin ia menghindari pernyataan-pernyataan yang ambigu, yang dapat memancing tafsir ganda. Semuanya tersusun dari data dan fakta peristiwa yang tepat dan akurat. Sementara itu, dalam berolah gambar – yang terwujud menjadi sketsa atau lukisan – justru ia berada dalam ruang kreatif untuk memproduksi ambiguitas itu. Ia memiliki keleluasaan untuk membuat keputusan; menggubah bentuk-bentuk yang berfungsi untuk ‘menggambarkan’, ‘melambangkan’, atau ‘menyimbolkan’ perihal peristiwa yang direkamnya. YSH bisa menumpahknan kritiknya, kemarahannya, kekecewaannya, atau kekagumannya terhadap sosok, atau peristiwa tertentu. Bahkan, melampaui sebuah laporan jurnalistik, dalam gambar-gambarnya itu, YSH berpeluang menempatkan opini-opininya pada urutan pertama (meski tidak selalu demikian).  Karena itu, karya-karya YSH dapat saya sebut sebagai reportase visual.

“Karya-katya sketsa, gambar, dan lukisan YSH sesungguhnya tetap bertumpu pada naluri jurnalistiknya. Pada dasarnya, seorang jurnalis adalah seorang pewarta; seorang yang mengabarkan tentang suatu peristiwa, dan sosok-sosok dalam peristiwa tersebut,” tandas Suwarno.

Setelah Keliling Tiga Kota

Yusuf Susilo Hartono (YSH) sudah memiliki pengalaman panjang dalam dunia jurnalistik dan seni rupa. Pameran bertajuk PE(S)TA DEMOKRASI, di Galeri Nasional Indonesia ini adalah pameran tunggalnya yang ke-10 (sejak 1982). Sebelumnya ia menggelar pameran tunggal keliling tiga kota; Jakarta, Surabaya, dan Bojonegoro dalam rentang waktu 15 November sampai dengan 31 Desember 2013, yang dilengkapi dengan peluncuran buku Moment and Essence, berisi kumpulan sketsa pilihan 1982-2013. Pameran lainnya antara lain Pameran Sketsa Jurnalistik (1990), Jejak Jepang dalam Sketsa (2002), Refleksi 20 Tahun Berkarya (2002). Ia juga seorang penyair, yang kumpulan puisi berbahasa Jawa, Ombak Wengi (2011) mendapatkan “Penghargaan Rancage 2012”, sebagai buku sastra Jawa terbaik. YSH pernah pula dalam waktu yang panjang, terus mengabadikan berbagai pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), hingga luar negeri,  dengan berbagai sketsa. (zacky wahyudi fagih)